Pendidikan Islam dan Masa Depan Ilmu Pengetahuan



Oleh : Nuryanto

Guru SMA Islam Al Azhar 9 Yogyakarta.

 

Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan Islam memiliki peran utama dalam membentuk karakter dan kecerdasan umat. Ilmu pengetahuan dalam Islam, memiliki dua aspek yakni agama dan umum. Integrasi kedua aspek ini, sangat penting dalam membangun manusia Islam yang beriman, berilmu, sekaligus mampu beramal dengan baik. Dengan demikian, Pendidikan Islam tidak hanya persoalan jumlah hafalan dan pengetahuan agama semata, namun manusia intelektual berbalut nilai-nilai akhlak yang Islami. Patut disayangkan, hingga saat ini pendidikan Islam sering dianggap gagap dalam menghadapi kemajuan ilmu pengetahuan modern.

Kegagapan lembaga Pendidikan Islam dalam merespon pengetahuan modern ini diduga karena kurikulum Pendidikan Islam itu sendiri. Secara umum Pendidikan Islam masih fokus pada aspek normatif dan tradisional, yang tidak relevan dengan kebutuhan zaman. Selain itu, Pendidikan Islam dianggap tidak memiliki kemampuan strategis dalam mengintegrasikan sains dengan ajaran Islam. Belum lagi adanya kesenjangan antara pendidikan agama dan kebutuhan keterampilan abad ke-2 M.

Demi merespon persoalan di atas, penulis mencoba untuk menyajikan pertanyaan yang paling mendasar, yakni apa itu Ilmu pengetahuan? Dalam kajian filsafat, pengetahuan seringkali dibagi dua; yakni fisika dan metafisika. Pembagian ini bahkan sudah dikenal sejak sebelum Yunani Kuno. Namun diksi fisika dan metafisika sudah mulai dikenalkan oleh Aristoteles dengan istilah tafusika untuk fisika, dan istilah tameta-tafusika, untuk hal-hal di luar fisika atau metafisika.

Dalam sejarahnya, Pendidikan Islam pernah mencapai puncak kejayaan yang dikagumi oleh peradaban lain. Puncak kejayaan ini terjadi di abad pertengahan, yang berumur  kurang lebih 1000 tahun. Tepatnya, dimulai dari runtuhnya kekaisaran Romawi Barat pada tahun 476 M (abad-ke-5 M), diakhiri sekitar tahun 1492 M (Abad ke-15 M). Namun abad kejayaan Islam (hight middle ages) disinyalir berkembang pesat pada abad ke-8-13 M. Masa keemasan ini, memicu kemajuan ilmu pengetahuan ilmuwan fisika dan metafika Islam yang rata-rata banyak mengusai bidang ilmu pengetahuan (pholymath). Ilmu-ilmu seperti matematika, kedokteran, seni, musik hingga filsafat berkembang bersanding dinamis dengan teologi Islam. Sebut saja, Al Kindi (801–873 M). Filofof dari Arab ini adalah penerjemah karya Aristoteles yang kemudian dikenal dengan Filsafat Pertama (Al falsatu Ula).

Berikutnya ada Al-Khawarizmi, yang menciptakan Ilmu Algoritma (Algorismus), yang bahkan masih kita gunakaan dan kita rasakan saat kita menggunakan gawai kita. Selain itu, Al-Khawarizmi adalah pencipta Al-Jabar, yang menjadi standar pengembangan matimatika di dunia Barat modern. Berikutnya ada Al Idris (1100-1166 M), yang menciptakan peta yang dipakai oleh Raja Boger II dari kerajaan Sicilia. Tidak ketinggalan, tokoh yang sangat terkenal bernama Ibnu Sina (Avicenna), adalah Ilmuwan muslim yang melahirkan "Kitab Al-Shifa" (The Book of Healing) yang merupakan buku babon kedokteran yang dipakai oleh dunia, hingga saat ini. Menariknya, dalam tradisi keilmuwan Islam, dimensi fisika dan metafisika tidak mengalami pemisahaan yang radikal. Saat itu, integrasi keduanya berhasil membentuk keilmuwan yang dinamis. Para ilmuwan Islam banyak memukau dunia barat yang dalam bekapan kegelapan (dark ages), dimana salah satu penyebabnya diduga karena ilmu pengetahuan di barat terlalu berpusat pada kebijaksaan Gereja (teosentris)

Namun demikian, dunia barat berhasil bangkit (renaissace) abad ke-14 M. Doktrin teosentris berubah kearah antroposentris, yang berhasil melambungkan kesadaran ilmu di dunia barat. Pada masa inilah, dunia Islam justru mengalami stagnasi bahkan mundur. Relatif setelah abad ke-13 M, dunia Islam tidak lagi melahirkan ilmuwan yang berpengaruh di dunia.. Kemunduran ilmuwan Islam diperparah oleh situasi politik yang buruk, ditandai dengan hancurnya Abbasiyah pada 1258 M. Pelan namun pasti, Ilmu pengetahuan kembali bergeser ke dunia barat. Mereka berhasil mengembangkan pelbagi ilmu seperti geografi, astronomi, kimia, fisika, matematika, taksonomi, biologi, kedokteran, manufaktur dan teknik, magnetis dan listrik.

 Abad-abad ini, Ilmu pengetahuan seperti ditandai oleh kebangkitan aspek fisika. Segala sesuatu tidak dapat diindera (metafisika) bahkan dianggap bukan bagian dari ilmu pengetahuan. Paling tidak, pendapat demikian ini, dikembangkan oleh bapak positivisme dari Perancis yang bernama August Comte (1798-1857 M). Pada abad ke-19 M, barat panen ilmuwan di bidang fisika, sebut saja Maxwell, Boltzmann, Planck, Kelvin, van der Waals, Fourier, Louis Pasteur, Marie Curie dan banyak lagi lainnya. Maka tidak mengherankan pada abad ke-20 M, cabang ilmu pengetahuan terus mengalami kemajuan di segala bidang. Misalnya saja perkembangan semi konduktor (transistor) yang disusul dengan perkembangan nanoteknologi yang membawa kemajuan besar pada teknologi informasi. Di bidang fisika, nuklir dikembangkan dengan banyak penemuan partikel sub-atom yang dikembangkan sebagai sumber energi dan senjata. Dalam bidang biologi, ditemukan uraian kode genetik dan mekanisme pengaturan dalam sel hidup. Hal inilah yang membuka jalan bagi terbukanya “rekayasa genetika”, yaitu transfer gen melewati batas yang memisahkan spesies dan peningkatan kecepatan pengurutan gen dalam kromosom, yang semuanya digabungkan menjadi membuat kemajuan besar dalam memahami dan mengobati karsinogenesis.

Ilmu pengetahuan fisika positivistik terus berkembang dan seakan tak terhenti oleh apapun. Sisi lainnya, fisika semakin meninggalkan metafisika. Banyak Ilmu pengetahuan baru yang memaksa perubahan pada umat manusia. Alfred Nort Whitehead mengutip Percy Bysshe Shelley dalam syair yang diberi judul “Mont Blenc”, pernah menuliskan syair kritik positivisme berikut ini;

The everlasting universe of things

Flows through the mind, and rolls its rapid waves,

Now dark—now glittering—now reflecting gloom—

Now lending splendour, where from secret springs

The source of human thought its tribute brings

Of waters—with a sound but half its own,

Such as a feeble brook will oft assume

In the wild woods, among the mountains lone,

Where waterfalls around it leap for ever,

Where woods and winds contend, and a vast river

Over its rocks ceaselessly bursts and raves.

 

Terjemahan:

Alam benda-benda yang kekal/ Mengalir melalui pikiran, dan menggulung gelombang yang cepat/ Kini gelap-kini gemerlap-kini suram membayang/ Kini memberi gemerlap, yang darinya rahasia menyembur/Sumber pemikiran manusia yang dibawa oleh hasilnya/Tentang air-dengan suara, tetapi hanya miliknya sendiri/ Seperti akan diberikan oleh sebuah alur lemah/ Di dalam hutan belantara, di antara gunung saja/ Di mana air terjun sekitarnya meloncat selamanya/ Di mana hutan, angin dan sungai yang luas/ Di atas karangannya terus mengalir dan meracau.

 

Syair ini melihat alam terus berubah, memancar dan bertransformasi tanpa henti, dan sulit dipahami. Polarisasi pengetahuan berimplikasi pada fragmentasi ilmu yang demikian jamak dan rumit. Fragmentasi inilah penyebab pemisahan antara satu disiplin ilmu dengan ilmu yang lain secara sistemik dan berkelanjutan. Saat ini saja, ilmu teknologi informasi telah berkembang dan mengembangkan cabang ilmu yang sedemikian banyak. Mungkin ada yang kita kenal, namun bisa jadi sebaliknya sama sekali tidak kita kenal. Sebagai contoh ilmu neuroimaging. Ilmu ini menunjukkan pemahaman dasar neurobiologis dalam menjelaskan perilaku manusia yang dijadikan sebagai dasar kecerdasan buatan (Artificial Intelegent). Penggunaan algoritma dan model prediktif dalam menganalisis data besar telah membuka peluang terciptanya hal baru yang bahkan tidak dapat diprediksi.

Dengan demikian, membicarakan ilmu masa depan sama dengan membicarakan dominasi fisika, dengan nalar filsafat Positivisme. Kemajuan abad ke-21 M ini adalah kenyataan akan kekuasaan positivisme atas ilmu pengetahuan. Alvin Toffler, seorang futurolog asal Amerika Serikat pernah mengungkapkan hal berikut ini;

 

"The illiterate of the 21st century will not be those who cannot read and write, but those who cannot learn, unlearn, and relearn."

 

  • “mereka yang disebut buta huruf (illiterate) di abad ke-21 bukanlah orang-orang yang tidak bisa membaca dan menulis, namun mereka yang tidak bisa belajar (learn), menanggalkan pelajaran sebelumnya (unlearn), dan belajar kembali (relearn).

 

Diskusi yang akan mengemuka di abad ke-21 M ini, sebenarnya bukan lagi tentang ilmu pengetahuan, namun tentang manusia itu sendiri. Manusia adalah makhluk yang memiliki banyak kekhasan. Salah satu kekhasan manusia yang menjadi pembeda utama manusia dengan makhluk yang lainnya adalah kemampuannya untuk mempertanyakan segala sesuatu. Manusia memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar tentang segala hal. Rasa ingin tahu ini bahkan sudah terlihat ketika manusia masih anak-anak. Pertanyaan seperti, “Darimana kita dilahirkan?”, “Mengapa api itu panas?”, “Mengapa matahari di atas?” “Mengapa manusia mati?” lazim kita dengar dari anak-anak.

Mungkin beberapa tahun yang lalu, berhasil menjawab pertanyaan itu adalah bagian dari pengembangan Ilmu pengetahuan terhadap siswa. Masalahnya,  di dunia masa depan semua pertanyaan itu dengan mudah akan bisa dijawab oleh neurorobotic, terjangkau kapanpun dan dimanapun. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah kepuasan dunia eksternal. Teknologi bisa memprediksi dunia masa depan, teknologi bisa merekayasa kesehatan dan lain sebagainya. Tetapi pertanyaannya apakah manusia bahagia?

Seorang Psikolog tahun 60-an, bernama Rollo May pernah meramal, akan datang suatu masa dimana manusia akan dengan mudah memenuhi kebutuhan dunia eksternal, tetapi kehilangan bisikan jiwa dan hal-hal yang misterius lain dari dalam dirinya. Diri manusia sebagai ruang eksistensi, akan tergerus oleh serbuan dunia eksternal, yang meminggirkan bisikan dunia internal. Meskipun segalanya terpenuhi, manusia akan tetap sepi dan  tidak memperoleh kebahagiaan yang hakiki.

Pendidikan Islam memiliki potensi besar untuk mengatasi tantangan ketidakseimbangan antara dunia eksternal dan internal yang diungkapkan oleh Rollo May di atas. Melalui pendekatan yang holistik, pendidikan Islam seharusnya mampu memberikan tawaran keseimbangan dunia internal dan eksternal yang dalam diri manusia. Islam sudah saatnya memberi ruang untuk pencapaian duniawi, namun tetap memberikan ruang kebahagiaan batin. Dengan mengintegrasikan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai spiritual, Pendidikan Islam mendorong siswa untuk mengenal dan memahami diri, sekaligus mendorong hubungan dengan Tuhan.

 

مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ

Artinya:”Barang siapa yang mengenal dirinya, maka dia mengenal Tuhannya."

Garis tegas tentang konsep ini, memberi panduan dalam menghadapi arus materialisme dan teknologi yang dapat mengaburkan makna hidup. Dengan pendekatan yang seimbang ini, pendidikan Islam tidak hanya mempersiapkan siswa untuk sukses di dunia, tetapi juga membentuk karakter yang tangguh, bijak, dan penuh makna.

Untuk itu, Pendidikan Islam, tidak boleh terjebak pada matrialisme sains-fisika. Pendidikan Islam memiliki musti mampu mengembangkan dimensi sains-spiritualis yang bergerak seiring tanpa meninggalkan satu sama lain. Berikut adalah hal-hal yang perlu diperkuat oleh Pendidikan Islam; Pertama, memperkuat kurikulum yang mengintegrasikan ilmu agama dan sains modern secara jelas. Kedua, meningkatkan literasi sains dan teknologi dalam lingkungan pendidikan Islam. Ketiga, mendorong kolaborasi antara lembaga pendidikan Islam dan institusi penelitian atau universitas nasional maupun internasional, yang berbasis pada sains dan teknologi. Keempat, perlu mengembangkan guru dan pendidik memiliki wawasan sains dan teknologi.

 Bila tidak ingin ditinggalkan Pendidikan Islam musti mengembangkan perspektif yang benar, serta mampu merespon ketertinggalan dengan konstruktif bagi kemajuan ilmu pengetahuan serta peradaban umat manusia. Dengan memperkuat metode pembelajaran berbasis riset, teknologi, dan pemecahan masalah, akan mendorong kreativitas serta inovasi. Sementara itu, nilai-nilai tauhid, akhlaq dan lain-lain merupakan pondasi awal pijakan spiritual. Muhammad Iqbal, penyair dan filsuf Muslim abad ke-20 , menyatakan bahwa "Tujuan akhir dari pendidikan adalah untuk mengembangkan kepribadian manusia dalam semua aspek sehingga mereka dapat berkontribusi pada kesejahteraan umat manusia." ***